HIZBUT TAHRIR ANCAMAN BAGI NU, BENARKAH ?

(Tanggapan terhadap wawancara Koran "Harian Bangsa" tentang Hizbut Tahrir)

Wawancara Koran Harian Bangsa dengan KH Imam Ghazali Said, MA, tentang Hizbut Tahrir penting untuk kami tanggapi. Mengingat banyak informasi yang kurang akurat bahkan keliru yang bisa membuat pembaca keliru dalam memahami Hizbut Tahrir. Tulisan tersebut sayangnya tidak memberikan sumber yang jelas atau narasumber yang tepat. Padahal ini sangat penting untuk menguji validitas informasi yang disampaikan. Tentu saja kalau mengenai Hizbut Tahrir informasinya akan valid kalau merujuk buku-buku resmi (mutabannat) HT yang disebarkan secara terbuka di masyarakat atau merujuk kepada narasumber resmi Hizbut Tahrir dalam hal ini Juru Bicara HTI yang dengan terbuka dan mudah dihubungi. Namun sayang, tulisan tersebut tidak mencantumkan sumbernya. Wajar kalau kemudian terdapat banyak informasi yang kurang tepat bahkan keliru.
Memang benar aktivis Hizbut Tahrir Indonesia kerap mengunjungi Kyai-kyai NU termasuk dalam Munas NU baru-baru ini. Hal ini tak lain adalah bagian dari program Hizbut Tahrir Indonesia untuk menjalin silaturrahmi dengan seluruh komponen umat Islam, berdialog, dan menjalin ukhuwah Islamiyah. Karena bagi Hizbut Tahrir, perjuangan penegakan syariah Islam di Indonesia , tanpa didukung oleh umat dengan segenap komponennya adalah mustahil direalisasikan. Karena itu perjuangan penegakan syariah Islam harus berjalan sinergis dengan masyarakat dan komponen umat.
Dukungan yang paling penting adalah dari para alim ulama di tengah masyarakat yang memang sama-sama memiliki visi yang sama untuk memperjuangkan syariah Islam. Dari persfektif inilah kami melihat NU adalah kompenen umat yang penting dan strategis untuk secara sinergis memperjuangkan syariah Islam. Tentu saja, kunjungan dan kontak-kontak selama ini bukan dimaksudkan sebagai upaya memaksa kaum Nahdhiyin menjadi bergabung kepada Hizbut Tahrir. Tapi dalam rangka ukhuwah Islamiyah dan menjalin gerak sinergis memperjuangkan syariah Islam.
Hal ini dilakukan oleh aktivis HTI tidak hanya kepada NU tetapi kepada seluruh komponen umat Islam lainnya. Delegasi HT juga menjalin kontak kepada ormas Islam besar lainnya, seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, dan Syarikat Islam. Termasuk juga kepada parpol yang ada. HTI juga bersama-sama dengan lebih dari 30 ormas Islam di Indonesia berjuang bersama merumuskan perjuangan Islam di Indonesia dalam Kongres Umat Islam ke-IV. Beberapa aktivis Hizbut Tahrir juga aktif di Majelis Ulama Indonesia untuk turut bersama ulama membangun umat dan bangsa ini.
Tidak Ada Agenda Tersembunyi
Salah satu yang penting diluruskan dari hasil wawancara di harian ini adalah pernyataan yang menyatakan bahwa Hizbut Tahrir tidak ada dialog dan menyembunyikan agendanya. Jelas ini adalah pernyataan yang sangat keliru dan bisa menyesatkan. Hizbut Tahrir Indonesia tidak pernah menyembunyikan agenda perjuangannya. Tujuan, dasar, dan metode Hizbut Tahrir dengan gampang dapat dilihat di buku-buku resmi Hizbut Tahrir, seperti kitab Tarif (Mengenal HT) dan Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyiir (Strategi Dakwah Hizbut Tahrir). Dengan gampang pula pemikiran HT diakses di situs resmi Hizbut Tahrir, seperti www. hizbut-tahrir.or.id (Bahasa Indonesia) atau (www. hizb-ut-tahrir.org dalam berbagai bahasa termasuk bahasa arab). Hizbut Tahrir juga tiap minggu mengeluarkan buletin al Islam yang menjadi suara resmi HTI lebih kurang 700.000 eksemplar di seluruh Indonesia, ditambah pula dengan penyebaran ribuan nasyrah (selebaran) dan booklet. Ditambah lagi media massa di Indonesia sudah sering kali mengekspose tuntutan Hizbut Tahrir yang menjadi agenda dakwahnya. Jadi tidak ada taqiyah sama sekali.
Dialog juga dilakukan oleh Hizbut Tahrir. Bahkan dialog telah menjadi agenda pokok aktivitas dakwahnya. Dibanyak tempat di Indonesia HTI mengadakan seminar, temu tokoh, dan Dauroh yang intinya adalah mendialogkan ide-ide HT secara terbuka. Disisi lain, aktivis HTI juga banyak menerima undangan dari kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan HTI seperti kelompok liberal untuk berdiskusi dalam berbagai seminar yang mereka adakan. Hampir dipastikan HT tidak pernah absen untuk menerima undangan ini. Banyak pula para peneliti, intelektual, maupun cendikiawan lokal maupun dari mancanegara yang berdiskusi dengan HTI. Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, secara khusus pernah diundang oleh universitas terkemuka di AS, Australia, dan Jepang untuk mendiskusikan perihal perjuangan syariah Islam di Indonesia. Para Anggota Hizbut Tahrir telah berdebat dengan pemikir terbaik di dunia, seperti Noam Chomsky, Daniel Bennet, dan Flemming Larsen dari IMF. Jadi pintu dialog bukan hanya boleh bahkan wajib dibuka bagi Hizbut Tahrir.
Agenda Hizbut Tahrir sudah sangat jelas, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Tarif (Mengenal Hizbut Tahrir), tujuannya adalah melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan hukum syara secara menyeluruh dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Adapun Daulah Khilafah Islam bukanlah tujuan, tetapi merupakan metode (thoriqoh) untuk menerapkan syariah Islam. Jadi perjuangan penegakan syariah Islam adalah agenda utama Hizbut Tahrir. HT meskipun tetap menganggap persoalan ibadah ritual penting, tapi bukan menjadi agenda utama umat. Karena itu HT tidak menjadikan persoalan bid'ah-bid'ah dalam ibadah ritual sebagai persoalan utama yang didiskusikan di tengah-tengah umat. Sebagaimana yang diklaim dalam wawancara tersebut.
Dalam Perihal perbedaan pendapat, termasuk dalam perkara Ibadah ritual, HT mengambil prinsip Imam Syafii, Royi showwab yahtamilu al-khatha', wa ra'yu ghairi khatha' yahtamilu as-shawab. Jadi tidak benar fitnah yang sering dihembuskan oleh kelompok-kelompok liberal bahwa Hizbut Tahrir mengkafirkan kelompok Islam lain yang berbeda pendapat dengan pendapatnya.
Agenda Bersama Umat
Agenda ini bukanlah perkara asing di tengah-tengah umat Islam apalagi para alim ulamanya. Penegakan syariah Islam sudah menjadi perhatian dari sebagian besar ormas Islam. Meskipun tentu saja terdapat perbedaan dari segi metodenya. Hal ini ditegaskan dalam Konggres Umat Islam ke-IV yang diikuti lebih dari 30 ormas Islam di seluruh Indonesia dimana dalam salah satu keputusannya adalah menjadikan syariah Islam menjadi solusi bagi persoalan bangsa ini. Tentu saja, syariah Islam bukan hal yang asing di kalangan kaum Nahdhiyin, terutama alim ulamanya.
Adapun perihal Khilafah Islam, juga bukan perkara yang asing dalam Islam. Beberapa kitab mu'tabar (yang diakui) oleh banyak alim ulama dan menjadi bahan rujukan dan kajian di Pesantren telah membahas kewajiban Khilafah Islam ini. Buku hadits utama seperti Shahih Bukhari, misalnya, memberi porsi khusus tentang hadits-hadits keKhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab al-Imarah.
Konsep tentang keKhilafahan sangatlah masyhur dan pernah diterapkan di muka bumi lebih dari 1200 tahun, sejak masa Rasulullah saw hingga periode akhir keKhilafahan Islam Utsmani (yang diruntuhkan tahun 1924 M). Ibnu Hazm dalam bukunya al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa (j.4/87) menyatakan: "Seluruh kalangan Ahli Sunnah, Murji'ah, Syi'ah dan Khawarij telah sepakat (ijma) mengenai kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga sepakat bahwa umat Islam wajib menaati seorang Imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw".
Untuk mengingatkan kita, kaum Muslim, betapa sistem keKhilafahan Islam begitu penting untuk direalisasikan, ada baiknya kita menyimak pernyataan Imam al-Qurthubi –seorang pakar tafsir-, dalam buku tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur'an (j.1/264): "Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat al-a'sham (yang tuli) terhadap syariat". Dalam kitab-kitab yang lazim digunakan di pesantren, seperti al-Ahkam as-Sulthaniyyah, baik karya al-Mawardi maupun al-Farra', jelas dinyatakan bahwa keberadaan khilafah merupakan perkara yang ma'lum min ad-din bi ad-dharurah. Bahkan, Imam al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fi al-I'tiqad menyatakan, adanya shulthan (khalifah) itu merupakan penjaga, yang tanpanya agama Islam ini akan sirna.
Sejarah perjuangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agenda Khilafah Islam. Setelah institusi Khilafah Islam Ustmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924, ulama dan tokoh pergerakan Islam Indonesia meresponnya dengan pembentukan Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam) dan wakilnya KH A. Wahab Hasbullah (lihat Bendera Islam, 16 Oktober 1924). Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafah ke Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab dari kalangan tradisi. (Hindia Baroe, 9 Januari 1925).
KH. A Wahab kemudian juga membentuk Komite Merembuk Hijaz yang menjadikan persoalan Hijaz sebagai persoalan utama. Komite inilah yang menjadi cikal bakal Nahdhatul Ulama (Deliar Noer, dalam Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942). Jadi sejak awal persoalan Khilafah telah menjadi perhatian baik berbagai kalangan ormas Islam di Indonesia baik Muhammadiyah, Sarikat Islam, maupun NU. Lepas dari berbagai perbedaan yang melingkupinya.
Yang menarik, seorang Kyai, pengurus cabang NU memberi kitab al-Hushun al-Hamidiyyah (Benteng Sultan 'Abdul Hamid II), khalifah 'Utsmaniyyah kepada salah satu pimpinan HTI, Ust Hafidz Abdurrahaman (yang juga jebolan Pesantren). Kitab tersebut berisi akidah Ahlusunnah dan pembelaannya terhadap eksistensi Khilafah Utsmaniyyah, termasuk Sultan 'Abdul Hamid II, sebagai institusi dan penguasa yang wajib dipertahankan. Artinya baik NU maupun Hizbut Tahrir sesungguhnya memiliki perhatian yang sama untuk memperjuangkan syariah Islam dalam merespon kondisi global yang ada, yakni kemunduran umat Islam di dunia. KH Makruf Amin dalam suatu dialog dengan aktivis HT mengatakan NU itu organisasi global yang bisa dilihat dari lambang NU: bola dunia.
Upaya Memecah Belah ?
Memang sering kalau kita mendengar istilah partai/kelompok terlarang, konotasinya selalu negatif. Padahal tidaklah selalu begitu. Bukankah Rosulullah SAW saat di Makkah dalam perjuangannya menegakkan Islam juga mengalami larangan yang sama ? Bahkan Rosululloh diboikot oleh rezim jahiliyah saat itu. Rosullullah saw dan sahabat dilarang dan dihambat aktivitasnya dalam menyebarkan Islam. Untuk itu perlu dikritisi siapa yang melarang HT dan apa alasannya.
Yang melarang HT adalah rezim-rezim di Timur Tengah dan Asia Tengah yang dikenal diktator. Seperti rezim Mubarak (Mesir) , Saddam Husain (saat masih berkuasa di Irak), Hafedz Assad (Suriah) , Raja Abdullah (Yordan), dan penguasa Saudi yang dikenal merupakan pemimpin represif. Termasuk yang bersikap kejam terhadap HT adalah Karimov , penguasa tangan besi Uzbekistan. Organisasi HAM internasional secara terbuka telah mempublikasikan kekejaman Karimov ini. Tidak sedikit aktivis Hizbut Tahrir dijebloskan ke penjara, disiksa, dan direbus hidup-hidup hanya karena satu alasan : menyebarkan leaflet (selebaran) yang menyerukan syariah dan Khilafah. Persoalannya, karena HT secara konsisten mengkritik kebijakan penguasa tiran itu yang menyengsarakan rakyat dan menyerukan syariah Islam dan Khilafah sebagai solusinya.
Para penguasa tersebut melarang karena agenda Hizbut Tahrir mengancam kekuasaan diktator mereka yang represif dan menindas rakyat. Larangan ini juga merupakan agenda negara-negara imperialis yang menekan penguasa-penguasa Timur Tengah yang sebagian besar adalah kaki tangan mereka. Negara-negara Imperialis ini sangat mengerti tegaknya Khilafah dan syariah akan menghentikan penjajahan negara imperialis ini.
Disamping itu negara Imperialis inipun berupaya melakukan politik adu domba antara sesama umat Islam seperti isu Sunni-Syiah di Irak, Pakistan, dan Lebanon. Dalam konteks Indonesia, upaya pecah belah itupun sangat terasa. Ada upaya membenturkan NU, yang dikenal tradionalis, dengan kelompok seperti HT, yang sering disebut Barat sebagai fundamentalis.
Patut kita cermati, upaya memecah belah ini menjadi salah satu rokomendasi Cheryl Benard (The Rand Corporation); antara lain membenturkan kelompok tradisionalis dan fundamentalis, serta mencegah aliansi antara kelompok tersebut. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Snouck Hurgronye di jaman penjajahan Belanda. Kita berharap tulisan dalam wawancara tersebut bukan bagian dari agenda imperialis yang hendak memecah belah komponen umat Islam untuk melestarikan penjajahan mereka di dunia Islam.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog


Statistik Blog

.: SPONSORED BY :.

.: SPONSORED BY :.
Jombang Open Source

->


K L A T

PCN U Jombang

GP Ansor
Powered By Blogger

Administrator

Foto saya
jombang, jawa timur, Indonesia
persembahan untuk bangsa

Pengikut