Papua dan Anti-Neokolonialisme

Kepergian Gus Dur meninggalkan duka bagi warga di Papua. Ia dikenang sebagai pemimpin politik Indonesia yang maju dalam mencari terobosan penyelesaian persoalan Papua. Di era kepemimpinannya, partisipasi politik orang Papua dibuka.

Saat ini jalan emansipasi yang telah ditunjukkan oleh Gus Dur tidak dilakukan oleh pemerintah Presiden Yudhoyono. Buktinya, Kelly Kwalik tetap dipandang sebagai buron (Kompas, 17 Desember 2009), status yang sama sejak zaman Orde Baru. Padahal, bagi orang Papua, Kelly Kwalik sejak awal dikenal sebagai seorang guru. Ia adalah "orang besar" dan jenazahnya disemayamkan di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika.

Civil order

Pemerintah Indonesia masih saja menyebut aksi warga di Papua sebagai pemberontakan dalam bingkai "keamanan", sekadar perusak civil order. Tapi mereka, sebaliknya, tidak mau memperjuangkan protes masyarakat setempat terhadap bukit-bukit yang hilang akibat tambang.

Umumnya, tanah ulayat tidak diakui oleh pemerintah. Peran aparat negara sekadar fasilitator bagi pemodal dari mana saja. Suara masyarakat setempat tak begitu penting. Sebaliknya, mereka diberi cap kaum separatis. Pada saat yang sama, aparat negara tidak berpihak kepada warga lokal dalam memperjuangkan aspirasi. Krisis legitimasi ini tak hanya terjadi di Papua, tapi juga di seluruh wilayah Negara Indonesia.

Tambang besar Freeport hadir sejak Orde Baru berdiri, jauh sebelum semua lokasi tambang di Indonesia terbuka bersamaan dengan proyek desentralisasi. Pada masa lalu, akses tambang di daerah diatur langsung oleh pemerintah pusat di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Di era desentralisasi, kewenangan ini turun ke tangan para bupati.

Hadirnya Orde Baru menandai berakhirnya era kepemimpinan Bung Karno, yang di ujung pemerintahannya populer dengan semboyan "anti-neokolim" (neokolonialisme dan imperialisme). Kematian Bung Karno menandai berakhirnya cita-cita Republik Indonesia yang berdaulat dan tidak tunduk kepada hegemoni negara mana pun.

Usaha membuka kembali catatan sejarah Indonesia dalam pusaran Perang Dingin dilakukan oleh berbagai sejarawan dunia untuk memahami kembali tragedi yang terjadi pada dekade 1960-an. Usaha ini di antaranya dilakukan oleh dua sejarawan kontemporer asal Amerika Serikat, seperti John Roosa dengan karya Pretext for Mass Murder (2006) dan Bradley Simpson dengan Economist with Guns (2008), yang membuka declassified files pemerintah Amerika Serikat di era ini.

Oleh Kejaksaan Agung, buku John Roosa yang telah diterjemahkan dilarang diedarkan di Indonesia, tanpa penjelasan apa pun. Sikap ini serupa dengan sikap rezim Orde Baru sejak 1970-an di bawah Kopkamtib, yang melarang siapa pun membuka peristiwa ini.

Sikap rezim Orde Baru melarang warga negara membaca ulang sejarah dekade 1960 cukup masuk akal dalam situasi Perang Dingin. Saat ini, jika pemerintah Presiden Yudhoyono melarang teks semacam ini dibuka untuk dipelajari, hal itu malah membuat kita semakin tidak mengerti akar persoalan Indonesia.

Bagaimana mungkin kita bisa mengerti politik G-2, yang ditandai dengan dua pilar utama Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina, jika usaha membuka sejarah dekade 1960 dihalangi oleh pemerintah ini? Bagaimana mungkin kita bisa memahami perubahan geopolitik dunia, setelah tumbangnya tembok Berlin (1989), tanpa memahami titik surut hubungan Jakarta-Peking (1965)?

Papua dalam narasi politik yang dibangun Bung Karno (Sukarno, 1962), satu paket dengan sikap anti-neokolonialisme, khususnya Solidaritas Asia-Afrika. Sebaliknya, masuknya Papua sebagai wilayah Indonesia di era Soeharto satu paket dengan pembukaan tambang Freeport di Timika.

Kolonialisme internal

Protes Bung Karno menekankan pada proses emansipasi. Artinya, warga negara republik ini tidak lebih rendah daripada warga negara mana pun. Ia menolak superioritas Belanda atas orang Papua. Protes Kelly Kwalik pun berkaitan dengan emansipasi, orang Papua tidak lebih rendah ketimbang orang apa saja di Indonesia; artinya, mempertahankan tanah leluhur seharusnya tidak dianggap tindak kriminal oleh Polri.

Dalam bingkai Negara Indonesia, persoalan Papua tak hanya melulu perkara politik ekonomi, tapi juga berkaitan langsung dengan politik identitas. Isu identitas dengan sederhana bisa dimengerti lewat kontes Puteri Indonesia, yang tak pernah dimenangi oleh perempuan Papua. Sedangkan lewat angka demografis ditandai dengan tingginya arus migrasi ke dalam (influx) Papua selama empat dekade.

"Papuanisasi birokrasi" yang berjalan sejak akhir 1990-an juga timpang dalam hal emansipasi. Sejauh mana elite pemerintahan yang diisi oleh orang Papua tidak lantas menjadi "raja-raja kecil" masih menjadi pertanyaan bersama.

Pembunuhan warga negara yang protesnya tidak didengar dan larangan membaca teks-teks kritis merupakan bentuk nyata kolonialisme internal. Dalam sejarah politik, era saat ini tak banyak berbeda dengan era politik etis golongan liberal Belanda satu abad silam terhadap warga di koloninya.

Padahal, dalam kepemimpinan Gus Dur, kekuasaan tak hanya berarti penegakan regulasi terhadap warga negara, tapi juga berkaitan dengan proses emansipasi. Ia mampu menemukan wajah manusia dalam nasionalisme Indonesia. Sebaliknya, dalam kematian Kelly Kwalik, aparat negara menerjemahkan nasionalisme sebagai kematian bagi yang lain.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/01/26/Opini/krn.20100126.18

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog


Statistik Blog

.: SPONSORED BY :.

.: SPONSORED BY :.
Jombang Open Source

->


K L A T

PCN U Jombang

GP Ansor
Powered By Blogger

Administrator

Foto saya
jombang, jawa timur, Indonesia
persembahan untuk bangsa

Pengikut